Semarang – Persidangan lanjutan perkara dugaan korupsi proyek Jembatan Merah di Kabupaten Purbalingga kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Jumat (20/6). Dalam agenda tersebut menghadirkan dua ahli yang dihadirkan tim penasihat hukum terdakwa Setiyadi, mantan pejabat di Dinas PUPR Purbalingga.
Dua ahli tersebut adalah Bagus Oktafian Abriyanto, SH, MH, ahli hukum administrasi dari Universitas Airlangga, dan Dr. Bastianto Nugroho, SH, M.Hum, ahli hukum pidana yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Surabaya.
Keduanya dihadirkan untuk memperkuat dalil pembelaan terhadap Setiyadi yang didakwa turut bertanggung jawab atas kerugian negara sekitar Rp13 miliar dalam proyek tahun 2017–2018 tersebut.
Dalam keterangan di bawah sumpah, Bagus Oktafian menekankan bahwa pejabat publik hanya bertanggung jawab sebatas kewenangannya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ia juga menegaskan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan harus memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan Peraturan LKPP No. 15 Tahun 2018.
“PPK wajib memiliki kompetensi, sertifikat, dan pengalaman minimal dua tahun di bidang pengadaan. Jika tidak, maka ada akibat hukumnya,” tegasnya.
Ia menyebut penunjukan PPK tidak lepas dari tanggung jawab pejabat yang lebih tinggi. “Berdasarkan asas ius contrarius actus, maka yang menunjuk harus turut bertanggung jawab. Ada legalitas dari peraturan bupati, itu sah sepanjang prosedurnya benar,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Bastianto Nugroho membedah unsur-unsur pidana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang dikenakan kepada Setiyadi. Ia menyebut bahwa dalam perkara pidana, pembuktian harus lebih kuat dari asumsi.
“Dalam perkara pidana, alat bukti harus lebih terang dari cahaya. Harus ada kesesuaian secara formil dan materiil. Tidak bisa hanya asumsi,” katanya tajam.
Terkait kerugian negara, ia juga menekankan pentingnya pembuktian bentuk kerugian secara nyata. “Bentuknya apa? Uang, benda, ataukah manfaat? Kalau bentuknya manfaat, seperti kesempatan, maka itu harus bisa diukur secara hukum,” urainya.
Ia juga menjelaskan bahwa jika seseorang hanya menjalankan perintah jabatan, maka bisa dikenakan ketentuan Pasal 51 KUHP. Namun menurutnya, itu bukan alasan mutlak pembenar.
“Pasal 51 bisa digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi harus jelas posisi dan peran seseorang dalam tindak pidana tersebut,” tegasnya.
Jaksa Penuntut Umum Bagus Sutedja dari Kejati Jateng yang hadir usai sidang menyatakan puas dengan keterangan ahli.
“Keterangan ahli memperkuat dakwaan kami. Tidak ada korelasi Pasal 51 dengan peran terdakwa dalam perkara ini,” ujar Bagus singkat.
Sebaliknya, pengacara terdakwa Setiyadi, Surono, justru menyebut keterangan ahli membuat posisi kliennya makin terang.
“Sejak awal tidak ada saksi fakta yang menyebutkan klien kami menyalahgunakan kewenangan atau memiliki mens rea. Dia bukan ahli teknik, pendidikannya dari peternakan,” tegas Surono.
Ia juga menjelaskan bahwa proyek tersebut sudah ditangani oleh tim teknis seperti PPTK dan PPHP yang berkompeten.
“Semua laporan teknis telah dinyatakan valid dan sah. Maka tuduhan penyalahgunaan wewenang terhadap klien kami tidak berdasar,” lanjutnya.
Surono pun berharap majelis hakim memutus secara adil dan jernih.
“Fiat justitia ruat caelum. Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah,” ucapnya dengan nada tinggi.
Kasus ini bermula dari proyek pembangunan Jembatan Merah Sungai Gintung, Purbalingga, yang digarap tahun 2017–2018. Berdasarkan audit Inspektorat, negara mengalami kerugian hingga Rp13 miliar.
Dalam perkara ini, terdapat tiga terdakwa: Setiyadi, Priyo Satmoko (mantan Kepala Dinas), dan Zaini, yang diketahui merupakan adik ipar mantan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan bertindak sebagai pengawas proyek.
Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Siti Insiroh. Agenda akan dilanjutkan pada Selasa, 24 Juni 2025, dengan agenda pemeriksaan terdakwa. (*)