Jatimhits.id (Surabaya) – Meskipun data menunjukkan tren positif penurunan kasus, praktik pernikahan dini di Jawa Timur masih menjadi ancaman serius yang mengintai masa depan remaja. Berbagai risiko kesehatan fisik, mental, hingga ancaman kemiskinan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi bayang-bayang kelam bagi pasangan yang menikah di usia anak.
Berdasarkan Data dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat adanya penurunan signifikan permohonan dispensasi kawin (Diska) dari 17.151 kasus pada tahun 2021 turun menjadi 12.334 kasus pada tahun 2023. Tren serupa juga ditunjukkan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jatim, di mana angka pernikahan anak menurun daru 10,44 persen (2021) menjadi 8,86 persen (2023).
Namun, angka-angka tersebut tidak lantas menjadikan isu pernikahan dini selesai. Saat ini remaja menjadi garda depan, “zero pernikahan dini”. Oleh karena itu saat ini terus di gencarkan kampanye “stop pernikahan dini” termasuk sosialisasi untuk menghindari menjadi “Janda Usia Sekolah (JUS)” seperti yang digelar di SMAN 19 Surabaya.
Kegiatan yang merupakan kolaborasi Pokja Instan Jurnalistik Keluarga Berencana (Pijar), berkolaborasi dengan Kemendukbangga/BKKBN Provinsi Jawa Timur, DP3APPKB Kota Surabaya, dan SMAN 19 Surabaya ini menjadi salah satu langkah strategis untuk menekan angka pernikahan dini.
Sosiaisai Ini bukan sekadar program yang terkesan menakutkan , tetapi gerakan moral yang menggugah kesadaran generasi muda untuk lebih mencintai masa depan mereka.

Menurut Plh. Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur, Sukamto, S.E., M.Si., saat ini remaja merupakan aset penting bangsa, calon ayah dan ibu masa depan yang perlu disiapkan dengan baik. Ia menyoroti pentingnya tiga hal yang harus dihindari generasi muda: pernikahan dini, narkoba, dan hubungan pranikah tanpa pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar.
“Meski trend pernikahan dini menunjukkan penurunan, namun masih banyak kasus pernikahan dini di beberapa daerah Jawa Timur. Dampaknya bukan hanya pada kesiapan mental dan ekonomi, tetapi juga berpotensi melahirkan anak-anak stunting. Itulah sebabnya pemerintah mendorong agar usia ideal menikah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki dapat benar-benar dipahami oleh para remaja,” jelas Sukamto saat menghadiri ada goes to school kampanye “Stop Pernikahan Dini agar Tidak Menjadi JUS (Janda Usia Sekolah)” di SMAN 19 Surabaya beberapa waktu yang lalu.
Ia menambahkan, terkait kegiatan kampanye dan sosialisasi ini nantinya akan terus berlanjut ke beberapa sekolah termasuk di tingkat SMP dan pondok pesantren,.
“Kami berharap kolaborasi seperti ini menjadi langkah kecil menuju zero pernikahan usia dini di Jawa Timur,” ujarnya penuh harap.
Sementara itu, Agustina Pertiwiningrum, Kepala SMAN 19 Surabaya, menyampaikan rasa terima kasih atas terselenggaranya kegiatan ini di sekolah yang dipimpinnya. Baginya, edukasi seperti ini sangat penting untuk membentengi siswa dari keputusan-keputusan yang bisa merugikan masa depan mereka.
“Program ini sangat membantu sekolah. Anak-anak perlu tahu risiko dan dampak dari pernikahan dini. Kami berharap mereka bisa fokus pada pendidikan dan menggapai cita-cita sebelum memikirkan pernikahan,” ujarnya.
Agustina juga menjelaskan bahwa saat ini di SMAN 19 Surabaya telah dibentuk Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) dan PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja), yang menjadi ruang aman bagi siswa untuk berbagi cerita atau untuk mendapat pendampingan.
“Melalui SSK dan PIK-R, kami membentuk konselor sebaya yang siap mendengarkan curhatan teman-temannya. Sekolah harus menjadi tempat ternyaman bagi anak-anak, tempat mereka tumbuh tanpa takut dihakimi,” tambahnya penuh empati.
Di tempat yang sama Ketua Pokja PIJAR, Tunggal Teja Asmara, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian jurnalis terhadap masa depan generasi muda.
“Kami ingin menyampaikan pesan moral bahwa pernikahan dini bukan solusi, melainkan awal dari banyak masalah. Melalui edukasi ini, kami ingin membangun kesadaran, memperkuat karakter, dan menumbuhkan semangat generasi muda untuk merencanakan masa depan dengan matang,” ujarnya.
Ia berharap sinergi antara jurnalis, pemerintah, dan sekolah terus berlanjut. “Kegiatan ini adalah awal dari gerakan berkelanjutan. Semoga dari SMAN 19 Surabaya, pesan ini menyebar ke sekolah-sekolah lain di seluruh Jawa Timur,” tegasnya.
Kegiatan edukasi yang diikuti sekitar 500 siswa itu berjalan lancar dan penuh semangat. Para siswa tampak aktif bertanya dan berbagi pandangan tentang masa depan, cita-cita, serta pentingnya menjaga diri dari risiko pernikahan dini.
Gerakan “Stop Pernikahan Dini agar Tidak Menjadi JUS (Janda Usia Sekolah)” bukan hanya sekadar edukasi, tetapi bentuk kasih dan kepedulian terhadap masa depan anak-anak bangsa.
Diharapkan dengan digelarkan sosialisasi ini bisa menambah wawasan mereka menjadi lebih luas, mereka bukan sekadar murid di sekolah, tetapi mereka adalah harapan negeri yang perlu dijaga, dibimbing, dan dikuatkan agar tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berdaya, dan berakhlak mulia. (Dsy)









