P ajak bagi saya bukan sekadar angka di laporan keuangan, tetapi napas yang menghidupi jalan yang saya lewati, lampu yang menyala di malam hari, dan ruang publik tempat anak-anak bermain. Namun dalam praktiknya, sistem perpajakan daerah sering kali menghadapi labirin kebijakan yang rumit, salah satunya melalui opsen pajak, yakni tambahan persentase atas Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang dipungut oleh kabupaten/kota berdasarkan ketentuan pajak provinsi.
Di Sidoarjo, opsen menjadi instrumen fiskal yang penting. Ia adalah “setitik darah” dalam tubuh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menopang pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Namun, di tengah ambisi menuju tata kelola pajak modern melalui program TaxCited Sidoarjo 2025, muncul pertanyaan reflektif apakah sistem opsen saat ini cukup adil, efisien, dan adaptif terhadap realitas sosial-ekonomi masyarakat Sidoarjo yang terus berubah? Mengapa isu opsen PKB dan BBNKB penting dibahas? Karena di wajah keadilan fiskal lokal diuji.
Data menunjukkan bahwa Sidoarjo, sebagai salah satu penyangga perekonomian utama Jawa Timur yang memberikan kontribusi besar terhadap peredaran kendaraan bermotor di provinsi ini. Namun sebagian penerimaan pajaknya tetap terhenti di provinsi. Skema opsen yang berlaku kadang menimbulkan ketimpangan fiskal vertikal antara provinsi dan kabupaten.
Sementara itu, masyarakat di tingkat bawah masih sering mengambil manfaat langsung dari pajak kendaraan yang mereka bayar. Jalan berlubang di desa, kemacetan di kota, atau pelayanan publik yang belum merata membuat sebagian warga merasa “membayar tanpa melihat hasil.”
Mendesaknya pembenahan muncul bukan untuk meniadakan opsen, tetapi untuk menatanya agar sejalan dengan semangat “Pajak Kita untuk Kita.”
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan saya sebagai warga Sidoarjo yang ingin memahami sekaligus menawarkan refleksi, bagaimana opsen PKB dan BBNKB dapat dikelola secara lebih adil dan produktif? Saya tidak bermaksud menuding siapa pun, melainkan mengajak kita semua yakni pemerintah daerah, legislatif, pelaku usaha, dan masyarakat untuk meninjau kembali filosofi dasar pajak daerah, gotong royong fiskal untuk kesejahteraan bersama.
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberi ruang bagi kabupaten/kota untuk memungut opsen pajak kendaraan bermotor. Tujuan mulia, memperkuat otonomi fiskal daerah. Namun praktiknya masih menghadapi paradoks.
Kabupaten seperti Sidoarjo memiliki mobilitas tinggi, menjadi jalur utama ekonomi Surabaya–Malang, tetapi penerimaan dari opsen PKB/BBNKB belum sepenuhnya mencerminkan beban fiskal akibat padatnya kendaraan di wilayah ini. Ironisnya, kerusakan jalan dan kebutuhan infrastruktur meningkat seiring volume kendaraan, namun dana yang masuk tak selalu sebanding dengan biaya pemeliharaan yang harus ditanggung daerah.
Dengan kata lain, opsen sering kali menjadi “pendapatan pasif” yang tidak elastis terhadap kebutuhan riil daerah. Program TaxCited Sidoarjo 2025 hadir sebagai langkah progresif untuk menata ulang sistem pajak daerah dengan empat pilar yakni digitalisasi layanan, edukasi wajib pajak, optimalisasi PAD, dan pelayanan prima.
Namun, di lapangan, tantangan yang dihadapi bukan hanya pada sistemnya, tetapi pada kepercayaan masyarakat. Banyak masyarakat yang belum memahami mana aliran dana opsen mereka bermuara. Transparansi menjadi kunci. Jika melihat masyarakat jalan-jalan diperbaiki dari dana pajak kendaraan mereka, maka akan tumbuh secara organik.
Digitalisasi melalui sistem E-Billing, E-SPTPD, hingga dashboard real-time adalah jawaban strategi untuk mengurangi kebocoran dan meningkatkan akuntabilitas.
Tetapi, teknologi tanpa edukasi hanyalah alat kosong. Maka, literasi fiskal harus tumbuh dibarengi dengan inovasi digital, agar masyarakat tidak hanya membayar, tetapi juga memahami dan mengawasi.
Saya teringat sebuah ironi sederhana. Di satu sisi, warga kota dengan kendaraan mewah membayar pajak yang persentasenya sama dengan pengendara motor tua di desa. Padahal, dampak sosial-ekonomi mereka berbeda jauh. Kebijakan tersebut memerlukan keberpihakan yang lebih progresif misalnya melalui skema tarif bertingkat berdasarkan kapasitas mesin atau tingkat emisi karbon, sejalan dengan semangat pajak hijau (green tax) yang mulai diterapkan di beberapa daerah. Dengan demikian, pajak bukan hanya alat fiskal, tetapi juga alat moral yang menumbuhkan kesadaran lingkungan dan keadilan sosial.
TaxCited bukan sekadar program digitalisasi, ia adalah simbol transisi budaya birokrasi Sidoarjo menuju keterbukaan. Melalui Sistem Informasi Geografis (GIS) Pajak, potensi data kendaraan dan objek pajak dapat disimpan secara akurat. Dengan demikian, opsen PKB dan BBNKB bisa lebih tepat sasaran, tidak lagi sekedar “pungutan administratif,” melainkan instrumen pembangunan berbasis data.
Jika sistem ini terintegrasi lintas instansi (Bapenda, BPN, Samsat, hingga perizinan usaha), maka setiap rupiah dari opsen bisa ditelusuri dan dipertanggungjawabkan. Pada titik ini, keadilan fiskal bukan lagi wacana, melainkan praktik nyata.
Sebagai warga Sidoarjo, saya percaya pajak bukan beban, melainkan bentuk cinta kita di daerah. Namun cinta itu perlu arah dan tata. Opsen PKB dan BBNKB adalah potensi besar yang bisa menjadi sumber keadilan fiskal, asalkan dikelola dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan inovasi.
Kita tidak sedang berbicara tentang angka semata, tetapi tentang kepercayaan. Tentang bagaimana masyarakat mau membayar, karena yakin uangnya kembali dalam bentuk jalan yang mulus, udara yang bersih, dan layanan publik yang cepat.
Jika TaxCited 2025 menjadi jembatan antara sistem digital dan kesadaran moral warga, maka opsen bukan lagi sekadar potongan pajak, melainkan simbol gotong royong modern. Rakyat membayar bukan karena takut sanksi, tapi karena mencintai daerahnya.
Maka, izinkan saya menutup dengan ajakan sederhana. Mari kita rawat pajak seperti kita merawat rumah sendiri. Karena pada akhirnya, pajak daerah bukan tentang pemerintah yang memungut, tetapi tentang kita yang membangun bersama, dari, dan untuk Sidoarjo.












