Surabaya – Mafia tanah harus diganyang karena menelikung hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat pemilik tanah yang sah. Mafia tanah tidak pandang bulu merongrong korban dari masyarakat umum bahkan pemerintah.
Demikian simpulan hasil diskusi terpandu atau Focus Group Discussion (FGD) tentang Mafia Tanah, yang berlangsung di Surabaya, Selasa (21/5). Dalam diskusi yang dipandu oleh Albert Kuhon ini dihadiri oleh sejumlah wartawan dai Jawa Timur.
Hadir sebagai narasumber kali ini diantaranya Prof. Dr. Hotman M. Siahaan (Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga), Dr. Ronsen Pasaribu (mantan Direktur Konflik Badan Pertanahan Nasional), G.A. Guritno (Direktur PT. Gatra Multimedia Utama), serta wartawan senior di Surabaya, Lugas Wicaksono dan Jaka Wijaya.
FGD ini sengaja digelar untuk mencari solusi bersama atas keresahan masyarakat terkait masih maraknya persekongkolan jahat sekelompok mafia tanah yang berusaha menguasai hak pemilik tanah yang sah di wilayah Surabaya. Dalam diskusi sempat mencuat adanya kecurigaan terkait ahli hukum dan pemodal yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah.
Modus operandi mafia tanah ini mencakup pembuatan surat keterangan palsu melalui kerja sama dengan aparat kelurahan, kemudian menggunakan surat-surat palsu tersebut di pengadilan, hingga merekayasa kasus untuk merampas hak atas tanah dari pemiliknya yang membeli secara sah.
Dalam kesempatan itu, Profesor Hotman Siahaan menegaskan bahwa banyak kekerasan agraria mengalami kebuntuan di Indonesia. Bentuk kolusi berbagai pihak yang terdiri dari penjahat, pemilik modal, perangkat hukum, penguasa, dan pihak lain seringkali bersikukuh menggunakan peraturan hukum yang melahirkan kekerasan agraria.
“Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan yang tidak seimbang antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” kata Hotman Siahaan.
Sementara itu, dalam penelusurannya selama mendalami kasus-kasus sengketa tanah di Surabaya sebagai wartawan di Jawa Pos, Lugas Wicaksono memaparkan banyaknya indikasi mafia tanah memanfaatkan celah hukum dan pencatatan tanah yang masih belum rapi untuk menguasai tanah secara sistematis, rapi, dan terencana.
Modus yang digunakan mulai dari memalsukan surat-surat tanah untuk menjual lahan milik orang lain, kemudian menggugat pemilik tanah, hingga indikasi kongkalikong dengan aparat hukum sehingga mendapat pengesahan dengan menang di pengadilan. Akibatnya, pemilik sah pun bisa ditelikung.
“Mafia tanah bahkan bisa membuat pemilik tanah yang sah, pembeli beritikad baik, membayar pajak, dan bahkan sudah memiliki sertifikat tanah bisa kehilangan haknya hanya karena gugatan orang yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang memegang petok D. Pemegang sertifikat bisa kalah dengan pemegang petok D, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Lugas.
Diskusi ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk memberantas mafia tanah dan menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan di Indonesia. (*)